Kemukjizatan Al Quran

Kemukjizatan Al Quran adalah merupakan kelebihan di luar akal manusia yang tidak dimiliki oleh siapapun, karena mukjizat hanya dimiliki oleh para rasul yang diberikan oleh Allah kepada para rasul-Nya. Sedangkan apabila ada seseorang yang memilki sesuatu yang luar bisa itu tidak bisa dikatakan sebagai mukjizat melainkan karomah. Kemudian ada pula istilah irhasat dan khawariq, irhasat adalah pertanda yang terjadi untuk menunjukkan tanda kelahiran seorang nabi (sebelum kenabian). Sedankan khawariq adalah kejadian yang terjadi dalam keadaan yang luar biasa.



Mukjizat biasanya berisi tentang tantangan terhadap hal-hal yang sedang menjadi trend pada zaman diturunkannya mukjizat tersebut. Misalnya pada zaman Musa, trend yang sedang terjadi adalah ilmu sihir maka dengan mukjizat tongkat Musa bisa berubah menjadi ular dan mengalahkan ilmu sihir orang lain yang ada di sekitarnya. Juga pada zaman Isa, trend yang sedang berkembang adalah ilmu kedokteran dan pengobatan, maka pada saat itu mukjizat Isa adalah bisa menghidupkan orang yang sudah meninggal yang merupakan puncak dari ilmu pengobatan. 
#kutipandariwikipedia.

Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an ini, niscaya tidak mereka akan dapat membuatnya walaupun sebagian mereka membantu sebagian (yang lain).” (QS. Al-Israa’ [17]: 88)

Beberapa kisah dalam Sirah Nabawiyah meriwayatkan keindahan susunan dan gaya bahasa Al Qur’an yang mampu menundukkan hati para sastrawan kafir Arab. Seperti dikisahkan dalam salah satu riwayat berikut ini. Ketika beberapa pemimpin Quraisy berkumpul merundingkan cara-cara menaklukkan Rasulullah saw., mereka bersepakat mengutus Abu Walid, seorang sastrawan Arab yang hampir taktertandingi di seluruh jazirah Arab, untuk meminta Rasulullah meninggalkan dakwahnya.

Tawaran yang diberikan pun tidak main-main. Rasulullah akan diberi pangkat, harta, dan apa pun yang dikehendaki. Ketika menghadap Rasulullah, Abul Walid mendengar Rasulullah saw membacakan surat Fushilat dari awal sampai akhir, yang diantaranya berbunyi:

Haa Miim, diturunkan dari Dzat yang Maha Rahman dan Rahiim, Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan tetapi kebanyakan dari mereka berpaling (darinya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata: Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang engkau seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; Sesungguhnya kami bekerja (pula).”(Q.S. Fushilat [41]: 1-5)

Mendengar ayat-ayat Allah tersebut, Abul Walid tak mampu berkata-kata. Akal dan hatinya tertarik dan terpesona pada keindahan dan gaya bahasa Al Qur’an. Ia termenung-menung. Akal dan hatinya membenarkan, tetapi hawa nafsunya menolak.

Abul Walid kembali kepada kaumnya tanpa mampu berkata sepatah pun di hadapan Rasulullah saw. Kaumnya yang menunggu gelisah, semakin gundah melihat wajah Abul Walid yang tak seperti biasanya. ”Apa hasil yang engkau bawa, wahai Abul Walid? Mengapa engkau bermuram durja?” .
Abul Walid menjawab, ”Aku belum pernah mendengar kata-kata seindah itu, seumur hidupku. Itu bukan syair, bukan sihir, dan bukan kata-kata ahli tenung. S

esungguhnya Al Qur’an itu bagaikan pohon yang daunnya rindang, akarnya terhujam ke dalam tanah, susunannya manis dan enak didengar. Itu bukan kata-kata manusia, ia adalah tinggi dan tiada yang mengatasi.”

Mendengar jawaban ini, kaumnya menuduh Abul Walid telah berkhianat dan cenderung kepada Islam. Reaksi sebagian besar para ahli sastra dan syair Arab terhadap tantangan Al Qur’an adalah bungkam, terdiam sejuta bahasa, tiada yang bernyali untuk tampil ke muka, karena ketidaksanggupan mereka dan ketakutan akan cemoohan dan hinaan. Namun sebagian yang lain memberanikan diri menirukan Al Qur’an dan mengangkat dirinya sendiri sebagai nabi baru. Orang-orang tersebut di antaranya adalah Musailamah Al-Kadzab, Thulaihah, dan Habalah bin Kaab.

Namun, mereka semua hanya mempersembahkan kegagalan, cemooh, dan hinaan kaumnya sendiri. Salah satu ’karya’ Musailamah yang mencoba menandingi Al Qur’an adalah: ”Yaa dhifda’u dhifda ’aini, naqyii maa tunaqiina, a’laaki fil maa’i, wa asfalaki fiith thiini.”

”Wahai katak anak dari dua katak, bersihkanlah apa-apa yang engkau bersihkan, bahagian atas engkau di air dan bahagian bawah engkau di tanah.”
Previous
Next Post »

Auto Like Facebook