Cara Memilih Diksi Yang Tepat Dalam Menulis

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa`ina", tetapi katakanlah : "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.(AL Qur-an Surat Al Baqoroh ayat 104)

Ayat ini adalah perintah Allah kepada umat Islam untuk tidak lagi memakai kata Raa’iina kepada Rasulullah SAW (Yang artinya dengarkanlah kami atau perhatikannlah kami” karena orang Yahudi juga menggunakan kata itu kepada Rasulullah tapi kata ini memiliki kemiripan dengan bahasa Yahudi Ru’uuna yang artinya orang bodoh. Setiap orang Yahudi berkata kepada Rasulullah Raa’iina mereka tertawa, artinya jelas kata ini memiliki konotasi negatif. Allah memerintahkan jangan menggunakan kata itu lagi tapi gunakanlah kata Unzhurna yang artinya sama, “Dengarkanlah kami atau perhatikanlah kami". Allah menekankan pentingnya memilih diksi yang baik.



Demikian pula dalam sejarah Islam pernah ada peritiwa Umar Bin Khattab melewati orang-orang yang sedang mengitari api unggun. Umar bisa saja memanggil mereka dengan kata-kata “Ya Ahlunn Naar!” wahai orang-orang di sekitar api. Tapi kalimat ini memiliki makna lain yaitu Wahai Penghuni Neraka. Maka Umar RA tidak menggunakan kalimat itu melainkan menggunakan kalimat “Ya Ahlud Dhiya!” yang artinya, “Wahai orang-orang di sekitar cahaya”.

Jadi jelas mempunyai perbendaharaan kata yang banyak lalu memilih yang tepat itu penting dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Para aktivis feminis sangat mengerti hal ini karena itu mereka lebih suka menggunakan kata Perempuan yang artinya orang yang di-empu-kan atau dimuliakan bukan “wanita” yang artinya berani diatur.

Pemerintah Filipina juga mengerti hal ini. Terhadap tenaga kerja mereka yang dibilang illegal di Timur Tengah atau di Malaysia mereka tidak mau ikut menggunakan kata illegal mereka menggunakan kata “Undocumented” (tidak terdokumentasi). Sayangnya pemerintah Indonesia manut saja menggunakan kata illegal.

Dalam pengalaman saya menulis oleh teman sesame wartawan saya diminta menggunakan kata PSK (Pekerja Seks Komersial) untuk menyebut pelacur. Saya menolak! Saya tetap menyebut pelacur. Kalau PSK berarti menganggap menjual diri itu hanyalah sebuah pekerjaan sejajar dengan pekerjaan lainnya.

Jadi dalam bahasa ada sikap kita. Ada pemihakan kita. Dulu Belanda menyebut para pahlawan Indonesia sebagi ekstrimis, pemberontak, tapi bangsa Indonesia menyebut mereka pahlawan. Dulu pers Indonesia menyebut HAMAS sebagai pemberontak HAMAS sekarang sudah ada perubahan menjadi “pejuang Palestina” atau “Pejuang HAMAS”.

Dulu orang menyukai sesama jenis lebih sering disebut homoseks yang mempunya makna negatif berupa penyimpangan seksual sekarang ada upaya mengubah itu menjadi gay yang mempunyai arti orang yang bersenang-senang jadi bermakna positif, apakah kita akan terjebak ke arah sana? Jadi memiliki kosa kata yang banyak dan luas itu penting dan memilih yang terbaik di antaranya. Bukan asal comot kata-kata asing supaya disebut intelek, seperti yang sedang happening di Indonesia, seperti kontorversi hati, konspirasi kemakmuran. Ampuun deh!

OLEH: AGUNG PRIBADI
Wallahu

A” lam Bish Shawab
Previous
Next Post »

Auto Like Facebook